Dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia disebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara yang
berdasarkan atas hukum (rechtstaat), dan bukan berdasarkan atas
kekuasaan belaka (machtstaat). Hal berarti bahwa segala sesuatu yang
dilakukan harus berdasarkan hukum positif di Negara ini. Apabila ada
sesuatu yang bertentangan dengan hukum maka harus dilakukan penegakan
hukum. Dalam penegakan hukum itu sendiri tidak memandang adanya
perbedaan status, baik itu pangkat, jabatan, jenis perkara dan lain
sebagainya. Hal ini sesuai dengan adanya asas equality before the law
(semua dipandang sama didepan hukum) yang selalu dijunjung tinggi oleh
para penegak hukum.
Dalam era pasca reformasi seperti saat ini
banyak terjadi sebuah tindak pidana yang dianggap sebagai extra ordinary
crime (kejahatan yang luar biasa) yang telah menjangkiti orang-orang
professional dan para pejabat di negeri ini yaitu tindak pidana korupsi.
Tindak pidana korupsi ini merupakan kejahatan yang dianggap sebagai
kejahatan yang dahsyat di Indonesia, karena dari waktu ke waktu seakan
kejahatan ini tidak ada habisnya, namun semakin berlanjut dari waktu ke
waktu baik itu di pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Tindak
pidana korupsi selain merugikan keuangan negara juga merugikan dan
membuat resah rakyat Indonesia, betapa teganya para professional dan
para pejabat merampok uang negara yang berasal dari rakyat dengan
realita adanya 29,89 juta rakyat Indonesia yang masih berada dibawah
garis kemiskinan.
Di Indonesia secara umum mengenai tindak pidana
korupsi sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang No. 20
Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. Jika
ditinjau dari sisi legal substance (peraturan hukum) penegakan hukum
terhadap tindak pidana korupsi dapat dikatakan cukup baik, namun jika
ditinjau dari sisi lain seperti legal structure (aparat penegak hukum)
maka penilaiannya akan berbeda. Masyarakat memandang law enforcement
terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum kurang baik karena adanya pembeda-bedaan terhadap pelaku tindak
pidana korupsi yang lazim kita sebut koruptor. Pembeda-bedaan ini yang
membuat terjadinya dinamika penegakan hukum terhadap tindak pidana
korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang merupakan lembaga super
body seakan tebang pilih terhadap perkara-perkara korupsi.
Bagaimana tidak ketika terjadi perampokan uang
negara dalam perkara korupsi bank century yang mencatut nama wakil
presiden Boediono dan mantan menkeu Sri Mulyani yang merugikan keuangan
negara sebesar Rp. 6,7 Triliun sampai sekarang belum terungkap. Kasus
century seakan menguap hilang, tidak ada kabar keberlanjutannya, padahal
proses audit forensik yang dikatakan sebagai jalan pembuka bagi
terungkapnya perkara korupsi bank century telah selesai dilakukan yang
prosesnya sejak Desember 2011 dan telah menelan biaya Rp. 93 Miliar.
Berbeda century, berbeda lagi dengan penanganan
perkara korupsi asrama atlet di Palembang. Perkara ini tergolong
perkara yang cepat ditangani dan cepat diproses hingga beberapa waktu
lalu terdakwanya M. Nazaruddin telah di vonis oleh hakim dengan hukuman 4
tahun 10 bulan penjara. Mantan mensos Bachtiar Chamsyah yang juga baru
bebas dari hukuman mengatakan bahwa “Negara ini telah kalah dalam
penegakan hukum tindak pidana korupsi karena telah melakukan tebang
pilih perkara korupsi”. Semangat penegakan hukum tindak pidana korupsi
juga mulai dinodai oleh beberapa putusan bebas yang dijatuhkan kepada
beberapa kepala daerah yang tersandung perkara korupsi. Dengan adanya
realita seperti ini membuat sebuah persepsi negatif masyarakat mengenai
law enforcement tindak pidana korupsi. Ketika dulu besan Presiden SBY,
Aulia Pohan yang tersangkut perkara korupsi dan benar-benar dilakukan
penegakan hukum kepadanya, seakan ada “angin segar” mengenai penegakan
hukum terhadap tindak pidana korupsi yang tidak pandang bulu, namun saat
ini “angin segar” tersebut seakan mulai hilang dengan adanya sebuah
dinamika tersebut.
Melihat keadaan yang seperti ini asas equality
before the law sebagaimana yang disebutkan diatas tadi seakan tidak
dijunjung lagi oleh aparat penegak hukum. Apalagi jika dibandingkan
dengan perkara tindak pidana lain seperti perkara Mbok Minah yang
mencuri biji kakao, tebang pilih penanganan perkara pidana sangat
terlihat kesenjangannya. Sebuah evaluasi memang perlu dilakukan dalam
penegakan hukum tindak pidana korupsi, terutama pada bagian legal
structure. Banyak masyarakat berpendapat bahwa penegakan hukum yang
dilakukan saat ini, masih jauh dari apa yang dikatakan sebagai ideal.
Oleh karena itu dalam menciptakan Ius constituendum (hukum yang
dicita-citakan) perlu adanya usaha yang keras dari aparat penegak hukum.
Masalah lain penegakan hukum tindak pidana korupsi adalah tumpang tindih
kewenangan penanganan perkara korupsi masih mewarnai proses penegakan
hukum tindak pidana korupsi antara lembaga kepolisian dan KPK. Sebagai
contoh perkara korupsi yang melibatkan mantan menkes Siti Fadillah
Supari yang ditangani oleh kepolisian, bukan oleh KPK.
Sebenarnya masyarakat sangat berharap kepada
KPK sebagai komisi yang independen untuk dapat melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi secara maximal, dari pada lembaga kepolisian dan
lembaga kejaksaan. Nilai kepercayaan masyarakat kepada KPK masih cukup
tinggi dibandingkan dengan kedua lembaga tersebut.
Dinamika penegakan hukum tindak pidana korupsi merupakan sebuah fenomena
yang tidak dapat hindari. Naik turunnya prestasi pemberantasan perkara
korupsi yang diproses hingga kemudian divonis tergantung dari usaha para
aparat penegak hukum. Apapun kesulitan yang dihadapi oleh aparat
penegak hukum dalam melaksanakan law enforcement tindak pidana korupsi,
harus dicari solusinya dan kemudian diselesaikan, demi keberlangsungan
semangat pemberantasan korupsi. Hukum yang selalu mencita-citakan
keadilan harus ditegakkan bagi siapapun, termasuk para koruptor.
Keadilan juga harus selalu dijunjung tinggi seperti halnya yang
disebutkan sebuah adagium hukum “fiat justicia et pereat mundus”
(walaupun dunia musnah, keadilan harus tetap ditegakkan).
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Response to "Dinamika Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia "
Post a Comment