ilustrasi (detikINET)
Jakarta - Media jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter tak dapat dilepaskan dari kehidupan orang-orang masa kini. Apalagi keduanya dianggap sebagai sarana untuk mengetahui tren yang ada atau update kabar dari teman. Namun siapa sangka jika kondisi ini memunculkan fenomena baru yang disebut dengan 'Fear of Missing Out' (FoMO). Apa itu?
Fenomena ini terjadi ketika Anda membuka akun jejaring sosial lalu mengetahui teman-teman Anda tampaknya asyik membahas sesuatu dan Anda merasa sedih atau tertinggal karena tak dapat mengikuti obrolan itu, bahkan tak tahu apa yang sedang mereka bicarakan.
Konsep baru ini merujuk pada kekhawatiran orang-orang jika melihat orang lain terlihat lebih bahagia dan merasakan kepuasan yang lebih besar daripada mereka. Keadaan ini biasanya ditandai dengan keinginan untuk tetap terhubung dengan media sosial secara terus-menerus, terutama untuk mengetahui apa yang orang lain lakukan.
Hal ini mendorong tim peneliti dari University of Essex, Inggris untuk menggelar studi pertama tentang fenomena yang baru muncul tiga tahun belakangan atau ketika popularitas media sosial mulai merangkak naik ini dan hasilnya akan dipublikasikan dalam jurnal Computers in Human Behavior pada bulan Juli 2013.
Menurut ketua tim peneliti, psikolog Dr. Andy Przybylski, FoMO sendiri sebenarnya bukanlah hal baru. "Yang baru adalah peningkatan penggunaan media sosial dan hal itu menawarkan semacam jendela baru untuk melongok ke dalam kehidupan orang lain. Tapi bagi orang yang memiliki kadar FoMO tinggi hal ini bisa menimbulkan masalah karena mereka cenderung selalu mengecek akun media sosialnya untuk melihat apa saja yang dilakukan teman-teman mereka hingga mereka rela mengabaikan aktivitasnya sendiri," katanya.
"Saya kira Facebook itu memang memiliki manfaat tersendiri, tapi persepsi tentang bagaimana kita menggunakan media sosial itu sendiri berubah. Kita tidak lagi menghabiskan waktu berjam-jam di depan komputer untuk iseng membukanya atau mengakses akun lewat ponsel sepanjang waktu. Kita jadi cenderung menggunakannya untuk mengikuti kehidupan orang lain dan fenomena ini belum pernah ada sebelumnya karena kita akan terus mendapatkan notifikasi terkait aktivitas orang lain itu," terang Dr. Przybylski.
Untuk itu, Dr. Przybylski pun menyarankan agar setiap orang belajar untuk mengendalikan penggunaan media sosial, terutama mengurangi frekuensinya menjadi sedang atau biasa-biasa saja. "Jika tidak, fenomena ini akan menciptakan aspek pedang bermata dua dari penggunaan media sosial," tandasnya.
Selain berhasil menciptakan sebuah metode untuk mengukur tinggi-rendahnya kadar FoMO yang dimiliki seseorang, dari studi ini peneliti juga menemukan bahwa orang-orang yang berusia 30 tahun ke bawah terlihat mempunyai kecenderungan paling tinggi mengalami FoMO dibandingkan kelompok usia lainnya.
Lagipula kelompok ini dilaporkan paling sering menganggap media sosial sebagai salah satu hal penting bagi mereka, sehingga mereka lebih bergantung pada sarana ini sebagai bagian dari interaksi sosial, ketimbang mungkin tatap muka langsung.
Studi ini pun menemukan faktor sosial juga memainkan peranan penting di balik munculnya fenomena FoMO ini. Dr Przybylski menyatakan ketika 'kebutuhan psikologis' seseorang tak terpenuhi, ia akan lebih cenderung melampiaskannya melalui media sosial dan FoMO menjembatani kesenjangan tersebut. Itulah sebabnya mengapa sebagian orang cenderung lebih banyak menggunakan media sosial daripada yang lainnya.
Ketika melihat efek FoMO terhadap kehidupan seseorang, tim peneliti juga menemukan bahwa orang yang diketahui mengidap FoMO level tinggi lebih cenderung tergoda untuk SMS-an dan bertukar email ketika berkendara. Tak hanya itu, orang-orang ini juga lebih mudah teralihkan perhatiannya oleh media sosial saat mendengarkan kuliah dan lebih concern terhadap penggunaan media sosial ketimbang aktivitas lainnya.
Lalu apa yang bisa dilakukan untuk menanggulangi orang-orang yang sudah terjebak dalam FoMO ini? "FoMO terjadi ketika kita mengabaikan pengalaman kita rasakan sendiri karena terlanjur terobsesi pada pengalaman orang lain yang tidak kita alami," terang psikolog Arnie Kozak, Ph.D., penulis buku Wild Chickens and Petty Tyrants: 108 Metaphors for Mindfulness tapi tidak terlibat dalam studi ini.
Agar tak terjebak pada kondisi itu, Kozak pun mengingatkan agar setiap orang hanya melihat bagian terbaik dari pengalaman orang lain yang mereka bagikan lewat media sosial. Setelah itu, jangan pernah menganggap kehidupan Anda membosankan karena pengalaman setiap orang tentu berbeda satu sama lain atau merasa ketinggalan jaman.
"Gunakan FoMO Anda sebagai katalis untuk menciptakan target yang realistis. Anda dapat memanfaatkannya sebagai inspirasi," saran Kozak, seperti dikutip dari Emaxhealth, Sabtu (4/5/2013).
Fenomena ini terjadi ketika Anda membuka akun jejaring sosial lalu mengetahui teman-teman Anda tampaknya asyik membahas sesuatu dan Anda merasa sedih atau tertinggal karena tak dapat mengikuti obrolan itu, bahkan tak tahu apa yang sedang mereka bicarakan.
Konsep baru ini merujuk pada kekhawatiran orang-orang jika melihat orang lain terlihat lebih bahagia dan merasakan kepuasan yang lebih besar daripada mereka. Keadaan ini biasanya ditandai dengan keinginan untuk tetap terhubung dengan media sosial secara terus-menerus, terutama untuk mengetahui apa yang orang lain lakukan.
Hal ini mendorong tim peneliti dari University of Essex, Inggris untuk menggelar studi pertama tentang fenomena yang baru muncul tiga tahun belakangan atau ketika popularitas media sosial mulai merangkak naik ini dan hasilnya akan dipublikasikan dalam jurnal Computers in Human Behavior pada bulan Juli 2013.
Menurut ketua tim peneliti, psikolog Dr. Andy Przybylski, FoMO sendiri sebenarnya bukanlah hal baru. "Yang baru adalah peningkatan penggunaan media sosial dan hal itu menawarkan semacam jendela baru untuk melongok ke dalam kehidupan orang lain. Tapi bagi orang yang memiliki kadar FoMO tinggi hal ini bisa menimbulkan masalah karena mereka cenderung selalu mengecek akun media sosialnya untuk melihat apa saja yang dilakukan teman-teman mereka hingga mereka rela mengabaikan aktivitasnya sendiri," katanya.
"Saya kira Facebook itu memang memiliki manfaat tersendiri, tapi persepsi tentang bagaimana kita menggunakan media sosial itu sendiri berubah. Kita tidak lagi menghabiskan waktu berjam-jam di depan komputer untuk iseng membukanya atau mengakses akun lewat ponsel sepanjang waktu. Kita jadi cenderung menggunakannya untuk mengikuti kehidupan orang lain dan fenomena ini belum pernah ada sebelumnya karena kita akan terus mendapatkan notifikasi terkait aktivitas orang lain itu," terang Dr. Przybylski.
Untuk itu, Dr. Przybylski pun menyarankan agar setiap orang belajar untuk mengendalikan penggunaan media sosial, terutama mengurangi frekuensinya menjadi sedang atau biasa-biasa saja. "Jika tidak, fenomena ini akan menciptakan aspek pedang bermata dua dari penggunaan media sosial," tandasnya.
Selain berhasil menciptakan sebuah metode untuk mengukur tinggi-rendahnya kadar FoMO yang dimiliki seseorang, dari studi ini peneliti juga menemukan bahwa orang-orang yang berusia 30 tahun ke bawah terlihat mempunyai kecenderungan paling tinggi mengalami FoMO dibandingkan kelompok usia lainnya.
Lagipula kelompok ini dilaporkan paling sering menganggap media sosial sebagai salah satu hal penting bagi mereka, sehingga mereka lebih bergantung pada sarana ini sebagai bagian dari interaksi sosial, ketimbang mungkin tatap muka langsung.
Studi ini pun menemukan faktor sosial juga memainkan peranan penting di balik munculnya fenomena FoMO ini. Dr Przybylski menyatakan ketika 'kebutuhan psikologis' seseorang tak terpenuhi, ia akan lebih cenderung melampiaskannya melalui media sosial dan FoMO menjembatani kesenjangan tersebut. Itulah sebabnya mengapa sebagian orang cenderung lebih banyak menggunakan media sosial daripada yang lainnya.
Ketika melihat efek FoMO terhadap kehidupan seseorang, tim peneliti juga menemukan bahwa orang yang diketahui mengidap FoMO level tinggi lebih cenderung tergoda untuk SMS-an dan bertukar email ketika berkendara. Tak hanya itu, orang-orang ini juga lebih mudah teralihkan perhatiannya oleh media sosial saat mendengarkan kuliah dan lebih concern terhadap penggunaan media sosial ketimbang aktivitas lainnya.
Lalu apa yang bisa dilakukan untuk menanggulangi orang-orang yang sudah terjebak dalam FoMO ini? "FoMO terjadi ketika kita mengabaikan pengalaman kita rasakan sendiri karena terlanjur terobsesi pada pengalaman orang lain yang tidak kita alami," terang psikolog Arnie Kozak, Ph.D., penulis buku Wild Chickens and Petty Tyrants: 108 Metaphors for Mindfulness tapi tidak terlibat dalam studi ini.
Agar tak terjebak pada kondisi itu, Kozak pun mengingatkan agar setiap orang hanya melihat bagian terbaik dari pengalaman orang lain yang mereka bagikan lewat media sosial. Setelah itu, jangan pernah menganggap kehidupan Anda membosankan karena pengalaman setiap orang tentu berbeda satu sama lain atau merasa ketinggalan jaman.
"Gunakan FoMO Anda sebagai katalis untuk menciptakan target yang realistis. Anda dapat memanfaatkannya sebagai inspirasi," saran Kozak, seperti dikutip dari Emaxhealth, Sabtu (4/5/2013).
Sumber Terpercaya: www.detik.com
0 Response to "FoMO, Fobia Baru Para Pecandu Internet"
Post a Comment