Embrace My Soul


Title: Embrace My Soul
Main Cast : Kim Kibum (Key SHINee), Lee Jiyeo.
Other Cast : Lee Jinki (Onew SHINee), Kim Jonghyun (SHINee), Lee Taemin (SHINee), Choi Minho (SHINee)
Length: Oneshot


Sebuah sedan hitam mengkilat melaju di jalanan yang diselimuti oleh salju. Sedan itu melaju dengan kecepatan 100 km/jam, mengabaikan jalanan yang licin akibat salju yang terus turun selama beberapa hari ini. Sedan itu juga tidak mau mengalah dengan kendaraan lain. Suara klakson yang nyaring terus menerus terdengar dari sedan hitam itu, diikuti dengan makian penuh kekesalan dari pengendaranya. Tapi akhirnya, sedan itu terpaksa berhenti. Jika tidak, maka sebuah nyawa akan melayang.
Gadis yang mengendarai sedan hitam itu menginjak rem dengan keras hingga ia merasa kakinya nyaris remuk. Ia menghindari sosok laki-laki seusianya, yang sedang menyebrangi jalan sambil menggumamkan lagu yang ia dengarkan dari i-pod miliknya. Laki-laki itu tidak tergores sedikit pun. Tapi sedan gadis itu tidak. Jalanan menjadi licin akibat salju yang bertumpuk di atasnya, dan itu jelas bukan keadaan yang menguntungkan bagi siapapun yang mengendarai kendaraan di atasnya. Sedan hitam itu tergelincir beberapa meter dan menubruk gundukan salju tinggi hingga berhenti. Bagian sampingnya menabrak batang pohon yang ada di pinggiran jalan tersebut. Bagian samping sedan itu remuk akibat tubrukan keras itu.
Gadis yang berada di dalamnya bersandar sambil menghela nafas panjang. Jantungnya masih berdebar-debar. Tapi ia lega ketika melihat laki-laki yang tadi nyaris menjadi korbannya kini berlari menghampirinya, dan laki-laki itu kelihatan utuh. Gadis itu kini memeriksa dirinya sendiri. Ia tidak apa-apa, tidak cedera sedikitpun.

Jiyeon melihat laki-laki itu mengintip dari kaca mobil yang tertutup. Ia menggedor kaca itu dengan kedua tangannya, kemudian menarik paksa pintu mobil yang masih utuh hingga membuka. Laki-laki itu mundur selangkah, dan kesempatan itu digunakan oleh Jiyeon untuk beringsut keluar.
Jiyeon merasa kedua kakinya lemas dan perutnya terasa seperti diaduk-aduk. Ia masih syok dengan kejadian yang baru saja ia alami. Untuk menenangkan diri, ia bersandar di badan mobilnya, dan melongo ketika melihat laki-laki yang nyaris ia tabrak merayap masuk ke dalam mobil.

“Ya! Apa yang kau lakukan??!” teriak Jiyeon, mengulurkan tangannya untuk menarik laki-laki itu. Tapi ada yang aneh.
Jiyeon terdiam. Ia yakin tangannya baru saja menembus melewati tubuh laki-laki itu. Laki-laki itu sendiri masih sibuk di dalam mobil. Kelihatannya, ia sedang berusaha mengeluarkan sesuatu. Jiyeon kembali mencoba menepuk bahu laki-laki itu. Lagi-lagi tangannya lolos melewati bahu laki-laki itu.

“A-ada apa ini…” batin Jiyeon, mulai merasa tidak enak. Ia mengangkat kedua tangannya dan memperhatikannya di bawah cahaya matahari. Tidak ada yang aneh dengan tangannya. Apa tangannya mendadak mati rasa karena kecelakaan itu?
“Hyung!!”
Jiyeon menoleh pada sosok remaja laki-laki yang berlari mendekatinya. Wajah laki-laki itu manis, dan kelihatannya ia masih duduk di bangku SMU. Laki-laki itu menatap khawatir pada hyungnya yang sebagian tubuhnya masih berada di dalam mobil.
“Taemin, cepat telpon ambulans…” seru hyungnya, yang kini sudah berhasil mengeluarkan sesuatu dari dalam mobil itu.
Jiyeon terdiam.
Bukan sesuatu yang sedang dikeluarkan oleh laki-laki itu, tapi seseorang.
Jiyeon melihat tubuhnya sendiri yang berlumuran darah, terkulai lemah di pelukan laki-laki asing itu.

Jiyeon berdiri di depan ruang operasi. Ia meremas kedua tangannya. Ia bingung dan ketakutan. Saat ini ia sedang menunggu tubuhnya sendiri yang sedang di operasi. Dan itu jelas bukan pengalaman yang menyenangkan. Bagaimana jika sebenarnya ia sudah mati? Kalaupun tidak, apa yang akan terjadi jika ia tidak bisa kembali ke tubuhnya? Ia sudah mencoba untuk masuk kembali ke tubuhnya, tapi usahanya selalu berakhir dengan terpentalnya dirinya, semakin jauh dari tubuhnya. Jadi sekarang ia hanya bisa menunggu.

“Kibum sshi?”
Jiyeon dan laki-laki yang tadi menolongnya menoleh mendengar panggilan itu. Mendadak Jiyeon merasa tenang. Kakak laki-lakinya, Jinki, kini berdiri di hadapannya dengan wajah khawatir.
“Kau yang bernama Kibum? Yang tadi menghubungiku menggunakan ponsel adikku?” Tanya Jinki. Kibum mengangguk.
“Bagaimana keadaannya???” Tanya Jinki.
“Oppa… aku di sini!!” seru Jiyeon, melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Jinki. Tapi Jinki memandang melewatinya, ke arah Kibum. Ia juga tidak bisa melihat Jiyeon.

“Dia sedang dioperasi… Dia kehilangan banyak darah.” Kata Kibum pelan.
Wajah Jinki berubah menjadi pucat pasi. Ia berjalan ke arah bangku rumah sakit dengan tubuh lunglai. Jiyeon mengikutinya dan ikut duduk di sampingnya. Ia berusaha menggenggam tangan Jinki, tapi ia hanya bisa merasakan udara kosong. Ia sama sekali tidak bisa menyentuh Jinki.

“Oppa… padahal kita begitu dekat… tapi aku sama sekali tidak bisa meraihmu… “ kata Jiyeon yang mulai meneteskan air mata. Jinki, yang duduk di sampingnya, hanya diam dengan tatapan menerawang.
Selama hampir 9 jam lebih Jinki dan Kibum duduk dalam diam. Pintu ruang operasi masih tertutup dan lampu tanda operasi berlangsung juga masih menyala. Keduanya, bahkan Kibum yang tidak mengenal Jiyeon, masih menunggu hingga operasi itu selesai. Jiyeon sendiri berdiri di hadapan keduanya. Selama 9 jam yang panjang itu ia tetap berdiri-aneh, tapi ia tidak merasa lelah-dan ikut menanti kepastian mengenai keselamatan tubuhnya itu.

Dan akhirnya, penantian selama 9 jam itu berakhir. Salah seorang dokter keluar dan membuka masker yang ia kenakan. Ia menatap Jinki dan Kibum bergantian.
“Saya keluarganya. Bagaimana keadaan adik saya, dokter?” Tanya Jinki dengan suara bergetar.
“Kita masih harus menunggu. Operasinya berjalan lancar, tapi dia belum melewati masa kritisnya.” Jawab dokter itu dengan wajah iba.

Jiyeon, yang berdiri di samping dokter itu menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Ia mencoba menampar si dokter yang mengatakan hal-hal yang membuat kakaknya sedih. Tapi sama seperti saat ia mencoba menyentuh Kibum, tangannya hanya melewati udara kosong.
“Jadi… aku dalam kondisi kritis…” gumam Jiyeon, meremas kedua tangannya dengan gelisah.
Jinki sendiri sudah merosot ke dinding. Ia memegangi kepalanya dengan kedua tangannya dan terdiam menatap lantai. Kemudian ia berdiri, mendadak sekali, saat melihat adiknya dibawa keluar dari ruang operasi.
“Jiyeon ah…” gumam Jinki, ikut berjalan di samping tubuh Jiyeon yang terlihat pucat sekali.
“Ne, oppa… aku di sini…” jawab Jiyeon, seakan-akan Jinki mendengarnya. Tapi tentu saja tidak. Ia dan Jinki menatap tubuhnya. Jiyeon hanya pernah menyaksikan adegan seperti ini di televisi. Tapi ia tidak pernah menyangka akan mengalaminya sendiri.
“Anu…”
Jinki berhenti, begitu juga dengan Jiyeon. Untuk sesaat, keduanya lupa akan keberadaan laki-laki itu. Kibum berdiri di belakang Jinki dan menatap Jinki dengan tatapan khawatir.
“Apa… apa dia akan baik-baik saja??” Tanya Kibum.
“Entahlah… dokter bilang dia belum melewati masa kritisnya… Tapi aku harap dia akan baik-baik saja… Kibum sshi, terima kasih sudah menolongnya…” kata Jinki, meraih kedua tangan Kibum.
“Tapi… kecelakaan itu… aku… aku rasa aku juga bersalah… dia menabrak karena menghindari aku…” kata Kibum pelan.
“Jangan menyalahkan dirimu. Jiyeon mungkin mengendarai mobilnya dengan tidak hati-hati. Suasana hatinya waktu itu memang sedang buruk, dan ia selalu melampiaskannya dengan ngebut di jalanan…” kata Jinki, berusaha keras menahan tangisnya.
“Ne… suasana hatiku memang sangat buruk…” batin Jiyeon, memperhatikan keduanya dengan tatapan sedih. Ia teringat pada seseorang. Seseorang yang membuatnya merasa sangat sedih.
“Kibum sshi, pulanglah. Kau sendiri mungkin masih syok karena kejadian itu.” Kata Jinki sambil tersenyum ramah.

Jiyeon menyukai senyum itu. Di saat keadaan tidak berjalan baik-saat ibunya sakit dan akhirnya meninggal, saat ayahnya menyusul ibu mereka satu tahun kemudian-senyuman Jinki-lah yang selalu membuat Jiyeon bisa bangkit kembali. Dan Jiyeon yakin Kibum juga merasakan hal yang sama, karena rona wajahnya yang tadinya murung berangsur-angsur membaik setelah melihat senyuman tulus Jinki.

“Aku baik-baik saja.” Jawab Kibum.
“Tidak-tidak. Pulang dan beristirahatlah.” Kata Jinki sedikit memaksa.
Kibum menyerah. Ia mengangguk dan berpamitan pada Jinki. Jinki sendiri kembali mengikuti Jiyeon yang dibawa ke ruangan tempat dia akan dirawat. Sementara Jiyeon mengikuti kakaknya, Kibum melangkah menuju pintu rumah sakit.

Jiyeon baru akan berlari mengejar Jinki saat ia merasa tubuhnya seperti ditarik oleh tali tak kasat mata. Tubuhnya tertarik menjauhi Jinki. Ia mengulurkan kedua tangannya, berusaha menggapai Jinki. Tapi tarikan itu jauh lebih keras. Jiyeon tertarik menjauhi kakaknya, menjauhi tubuhnya, dan mendekati Kibum.
“O-Oppa!!!!!” teriak Jiyeon, berharap Jinki mendengar dan menyongsongnya. Tapi Jinki tetap berdiri di samping tubuhnya, mengikutinya di bawa ke ruang perawatan.

“Aish!!!! Kenapa jadi begini!!!!!” teriak Jiyeon, frustasi. Ia mengacak-acak rambutnya, kesal.
Ia baru menyadari bahwa entah bagaimana ia jadi terikat pada Kibum. Ia tidak bisa berada jauh dari laki-laki itu. Setiap ia melangkah menjauhi Kibum, tubuhnya otomatis tertarik mendekati laki-laki itu. Pada akhirnya, Jiyeon menyerah. Ia pasrah dan mengikuti Kibum pulang ke rumahnya.

“Ya!! Aku harus kembali ke tubuhku!! Aku masih mau hidup!! Masih banyak yang harus kukerjakan!!” teriak Jiyeon di telinga Kibum. Tapi Kibum tidak bergeming. Laki-laki itu berjalan dalam diam dengan langkah yang lebar.

Jiyeon kembali mengacak-acak rambutnya. Ia tidak tahu harus berbuat apa…
Keduanya tiba di rumah tempat Kibum tinggal. Kibum hanya tinggal berdua dengan sahabatnya, Taemin. Keduanya tinggal jauh dari keluarga. Bagi Kibum, Taemin -lah keluarganya saat ini.
Jiyeon mengikuti Kibum menaiki tangga menuju lantai dua dan berhenti saat mendengar seseorang memanggil.

“Hyung… bagaimana keadaan gadis itu??” Tanya laki-laki yang Jiyeon ingat bernama Taemin.
Jiyeon melambai-lambai pada Taemin, mencoba menarik perhatian laki-laki itu. Tapi tentu saja Taemin tidak bisa melihatnya.
“Kritis. Belum sadar sampai sekarang. Aku mau istirahat. Jangan bangunkan aku.” Kata Kibum, kembali menapaki anak tangga sebelum akhirnya berhenti lagi “Oh ya, Taemin ah… Festival kembang api malam ini…”
“Jangan khawatir hyung. Aku bisa pergi dengan temanku. Hyung istirahat saja…” kata Taemin, tersenyum. Kibum membalas senyumannya dan akhirnya melangkah menuju kamarnya.  Jiyeon dengan pasrah mengikuti langkah Kibum.

Kibum masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya tepat sebelum Jiyeon masuk. Reflek, gadis itu memegangi wajahnya yang seharusnya menabrak pintu, namun ia tidak bisa merasakan apa-apa. Malah, sebagian tubuhnya sudah menembus melewati pintu kamar Kibum.

“Wooaa~!!! Aku benar-benar jadi hantu!!!” seru Jiyeon, entah kenapa kagum pada dirinya sendiri. Kemudian ia melihat kea rah Kibum, dan membelalak. Kibum sedang membuka kemeja yang ia kenakan. Kemeja itu berlumuran darah. Darah Jiyeon.

“YA!!! Apa yang kau lakukan di depan seorang gadis???” teriak Jiyeon, menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Wajahnya terasa panas.

Kibum sendiri tidak menyadari apa-apa. Ia mengganti pakaiannya dan memperhatikan kemeja kotor di tangannya. Entah kenapa, perasaannya tidak menentu melihat bercak darah yang melumuri pakaiannya itu. Ia masih ingat wajah gadis itu, dan sampai sekarang wajahnya masih terbayang di kepalanya. Bahkan ia berhalusinasi melihat gadis itu di kamarnya.

Kibum membelalak kaget dan menunjuk ke arah Jiyeon.
“K-KAU??!!!”
Jiyeon membuka matanya dan mengintip dari sela-sela jarinya. Ia melihat Kibum, berdiri dengan tangan teracung ke arahnya. Matanya membelalak, dan-untungnya-ia sudah berpakaian.

“B-B-Bagaimana bisa…”
“Kau bisa melihatku??” Jiyeon memotong kata-kata Kibum yang kelihatan syok, takut sekaligus takjub. Ia mengangguk dan mundur beberapa langkah saat Jiyeon bergerak maju. “Oh!! Sukurlah!!! Kau harus membantuku! Aku harus kembali ke tubuhku!!!” seru Jiyeon.
“Jangan mendekat!!” seru Kibum, mengarahkan telapak tangannya ke Jiyeon, tanda agar Jiyeon berhenti. Jiyeon menurut dan mematung di tempatnya sementara Kibum mengatur nafasnya. Saking takjubnya, ia sampai lupa bernafas.

“Kau ini… apa?” Tanya Kibum.
“Apa lagi? Hantu?? Sebenarnya aku sendiri tidak yakin aku ini apa…”
Kibum berjalan mengelilingi Jiyeon dan memperhatikan gadis itu dengan seksama. Dari atas ke bawah, depan belakang. Ia tidak pernah melihat hantu sebelumnya, dan gadis itu benar-benar tidak terlihat seperti hantu.

“Kenapa kau ada di sini?” Tanya Kibum.
“Aku tidak tahu. Setiap aku jauh darimu, aku seperti ditarik mendekat ke arahmu. Karena itu, kau harus kembali ke rumah sakit dan biarkan aku kembali ke tubuhku! Tubuhku sedang sekarat di sana!” seru Jiyeon.
Kibum masih terdiam dan memperhatikan ‘hantu’ di depannya. Saat mengeluarkan gadis tadi dari dalam mobil ia tidak begitu memperhatikan karena panik dan gadis itu berlumuran darah. Tapi dilihat dari dekat begini, Kibum mengakui gadis itu sangat menarik. Ia memperhatikan Jiyeon dalam diam sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya karena ia bertemu mata dengan gadis itu.

“Jadi… kau harus kembali ke rumah sakit untuk bisa kembali ke tubuhmu?” Tanya Kibum, duduk di tepi tempat tidurnya dan menyilangkan kakinya. Kedua tangannya dilipat di depan dadanya.
Jiyeon mengangguk.

“Kau tidak bisa terbang ke sana sendiri??” Tanya Kibum, menaikkan sebelah alisnya.
“Ya!! Pabbo!! Kalau aku bisa, aku sudah melakukannya sejak tadi. Jadi aku tidak perlu melihat laki-laki asing berganti pakaian di depanku…” seru Jiyeon.
“Mwo??? Kau melihatku ganti pakaian????” tanya Kibum. Rasa panas langsung menjalari wajahnya. Jiyeon sendiri mengangguk.

“Tapi aku menutup mataku. Tenang saja!”
“Wah, kau berbahaya!!” seru Kibum, mengipasi wajahnya yang masih terasa panas.
“Kibum sshi… tolonglah… kembalilah ke rumah sakit dan bantu aku kembali ke tubuhku… Aku… aku belum mau meninggalkan dunia ini… aku tidak mau meninggalkan kakakku… Dia-hanya aku yang dia miliki di dunia ini…” kata Jiyeon. Semakin lama, suaranya terdengar semakin serak. Ia menahan tangisnya “… aku… aku juga belum membalas Jonghyun yang sudah mencampakkan aku…” sambung Jiyeon, kali ini setetes air mata sudah jatuh ke pipinya.
Kibum masih memperhatikan gadis itu dengan tatapan yang hanya dia yang mengerti apa maksudnya. Entah kenapa, ia tidak suka melihat gadis itu menangis. Dadanya ikut terasa sesak dan perutnya terasa seperti ditekan dengan keras. Kibum memegangi perutnya.

“Aku ini kenapa…” batin laki-laki itu. Ia kembali menatap Jiyeon yang sedang mengatur nafasnya dan berdiri. Ia mengambil jaket dan syalnya kemudian berjalan ke arah Jiyeon.
“Aku juga tidak mau dihantui olehmu. Jadi ayo kita ke rumah sakit dan temui kakakmu.” Kata Kibum. Tangannya terulur untuk menepuk bahu Jiyeon. Tapi ia tidak bisa menyentuhnya. Seakan-akan tidak ada siapapun berdiri di sana. Kibum mencelos dalam hati.
“Aku benar-benar melihat hantu…” gumam Kibum, membuka pintu kamarnya.
Jiyeon mengusap air matanya dan tersenyum.

Kibum memutuskan untuk menggunakan mobil. Ia tidak mau mengambil resiko pergi ke rumah sakit dengan berjalan kaki. Selain ia takut kejadian tadi terulang lagi-nyaris tergilas oleh mobil-ia juga ingin cepat tiba di rumah sakit dan mengembalikan Jiyeon ke tubuhnya. Bukannya Kibum tidak suka ada Jiyeon di dekatnya. Hanya saja, sejak tadi jantungnya terasa bergemuruh sampai-sampai ia takut Jiyeon bisa mendengarnya. Ia tidak tahu kenapa, tapi rasanya ia gelisah terus berada di dekat gadis itu. Ia melirik Jiyeon yang duduk di belakang dalam diam melalui kaca spion. Ia tahu gadis itu juga merasa trauma, karena ia berada di dalam mobilnya saat kecelakaan itu terjadi.

“Kau baik-baik saja?” Tanya Kibum.
Jiyeon mengangguk, tapi Kibum tahu gadis itu mersa takut.
“Tidak usah khawatir. Aku selalu menyetir dengan baik, kok!” kata Kibum, berusaha mencairkan suasana. Jiyeon tersenyum sedikit, dan Kibum merasa perutnya kembali bergolak.
Keduanya kembali terdiam sampai sesuatu terjadi.

Sesuatu mendarat di atas mobilnya dengan bunyi tuk pelan. Kibum tidak menyadarinya, tapi Jiyeon mendengar suara itu dan mendongak ke atas. Saat itulah ia melihat sepasang kaki menembus masuk dari atap mobil. Jiyeon berteriak kaget saat sosok berpakaian putih mendarat dan duduk di sampingnya. Kibum juga berteriak karena ia melihat sosok yang bercahaya itu. Ia menginjak remnya keras saking kagetnya. Untungnya jalanan sedang sepi saat itu.
“Siapa kau????” Tanya Kibum, menghadap ke belakang dan menunjuk sosok putih yang saat itu sedang membuka-buka buku di tangannya.

“Aku? Namaku Minho.” Jawab laki-laki itu pendek. Kibum memutar bola matanya.
“Aku tidak tanya namamu… Aku tanya kau ini apa???” gerutu Kibum.
Minho tidak menjawab. Ia masih sibuk mencari sesuatu di buku itu. Dan ia menemukan apa yang ia cari. Minho mengarahkan mata bulatnya yang besar ke arah Jiyeon.

“Kau, aku mencarimu ke mana-mana!” katanya.
“A-aku?? Mencariku?? Kau siapa?? Jangan-jangan kau ini malaikat pencabut nyawa???”
Kibum melongo. Memang terdengar tidak masuk akal, tapi penampilan Minho itu memang meyakinkan untuk disebut malaikat. Minho itu tidak tersenyum, wajahnya datar sekali.
“Belum waktunya kau menyebrang ke dunia lain. Tapi kenapa kau malah menjauhi ragamu??” Tanya Minho itu.
“Harusnya aku yang bertanya, tuan malaikat… Kenapa aku seperti terikat dengan laki-laki ini?? Aku secara otomatis tertarik ke arahnya jika kami berjauhan…” kata Jiyeon.
“Hmm…” Minho itu kelihatan berpikir. Ia mengingat hal-hal yang ia baca di buku panduan malaikat yang diserahkan padanya di awal saat ia mulai mengemban tugas sebagai malaikat.
“Kau mengenal laki-laki ini?” Tanya Minho pada Jiyeon. Minho menunjuk Kibum dengan jempolnya.
“Aniyo. Aku tidak mengenalnya…”
“Bagaimana kau bertemu dengannya?” Tanya Minho lagi.
“Hmm… aku hampir saja menabraknya…” gumam Jiyeon, memainkan jari-jarinya.
Tiba-tiba Minho tersenyum seakan-akan ia baru saja mendapat pencerahan. Ia menutup buku di tangannya dan membuka pintu mobil, bersiap-siap untuk keluar.
“Sepertinya sejak awal takdir kalian memang sudah diharuskan saling bertaut. Hanya saja kejadian ini membuat takdir kalian bertemu lebih cepat. Gwenchanna. Asalkan kau membawa gadis ini ke tubuhnya sebelum 12 jam, dia bisa kembali ke tubuhnya.” Kata Minho, seraya keluar dari mobil.
Jiyeon menarik Minho-ia bisa menyentuhnya-sebelum laki-laki itu sempat menutup pintu.
“Kalau lebih dari itu… apa yang akan terjadi padaku??” Tanya Jiyeon.
“Kau akan terlepas sepenuhnya dari ragamu, menjadi benda utuh yang berbeda dengan ragamu. Dan aku akan kembali untuk membawamu menyebrang ke dunia lain. Dengan kata lain, kau mati…” kata Minho.
Jiyeon terdiam. Kibum ikut terdiam. Entah kenapa, perasaannya mengatakan kalau hidup gadis ini sekarang tergantung padanya.
“Kenapa…” gumam Jiyeon. Kibum dan Minho melirik ke arahnya.
“Kenapa kau keluar lewat pintu? Bukannya lewat atap seperti saat kau datang tadi??” Tanya Jiyeon, menatap Minho. Kibum menghela nafas dan terbahak. Ia mengira Jiyeon akan berteriak dan menangis. Tapi ternyata gadis itu malah melontarkan pertanyaan konyol.
“Karena kalau menggunakan cara itu rambutku yang sempurna ini akan berantakan…” jawab Minho, menyibak poninya.
Jiyeon dan Kibum kali ini benar-benar terbahak mendengar jawaban dari malaikat aneh itu.

Minho pergi setelah mengingatkan keduanya mengenai peraturan 12 jam itu. Keduanya melanjutkan perjalanan mereka ke rumah sakit dalam diam. Jiyeon tidak tahu harus bicara apa. Ia merasa otaknya seperti meleleh mendengar batasan waktu 12 jam itu. Ia tidak tahu harus bagaimana. Ia terus menerus berpikiran buruk. Bagaimana jika ia melewati batas waktu itu? Apa dia akan mati? Apa dia akan meninggalkan Jinki? Meninggalkan Jonghyun?
Nama yang terakhir melintas di kepalanya itu membuat Jiyeon ingin berteriak. Ia masih ingat bagaimana Jonghyun mencampakkannya beberapa jam lalu.
Beberapa jam lalu…
“Kibum sshi, berapa lama operasi yang aku jalani tadi??” Tanya Jiyeon, teringat soal lamanya operasinya itu.
“Kurang lebih 9 jam…”
“Perjalanan ke rumah sakit, ke rumahmu, saat kita bicara di kamarmu…. Sejak kecelakaan itu sampai sekarang sudah berlalu hampir 11 jam… aku hanya punya waktu 1 jam lagi…” kata Jiyeon. Jantungnya terasa berdegup keras. Mendadak, Jiyeon merasa seperti ingin muntah.
“Tenang saja! Jangan panik. Rumah sakit sudah dekat…” kata Kibum, berusaha menenangkan gadis itu. Padahal ia juga sama paniknya dengan Jiyeon.
Jiyeon menyandarkan tubuhnya dan menghela nafas berkali-kali. Ia berusaha menenangkan dirinya. Tapi rasa panik kembali menyerangnya ketika melihat polisi-polisi sedang menutup jalanan di depan mereka.
“Maaf, tapi untuk sementara jalan ini terpaksa kami tutup karena festival kembang api… Anda bisa memutar melalui jalan lain…” kata polisi itu ramah.
“Aish!! Aku lupa soal festival itu!” gerutu Kibum.
“Tidak mungkin… Memutar berarti kita menghabiskan waktu hampir satu jam karena jalannya jadi lebih jauh… Kibum sshi… ottokaeyo????” seru Jiyeon.
Kibum terdiam dan berpikir keras. Tapi ia tidak menemukan ide lain yang lebih baik.
“Kita jalan saja. Dari sini rumah sakit sudah dekat.” Kata Kibum, membuka pintu mobilnya dan menjelaskan kepada polisi itu mengenai rencananya untuk meninggalkan mobilnya di situ. Polisi itu mengiyakan dan Kibum belari menyusuri trotoar jalan. Jiyeon mengikuti di belakangnya.
Keduanya berlari dan berlari. Tapi jalanan itu ramai dipenuhi oleh orang-orang yang datang untuk melihat festival kembang api itu. Keduanya kesulitan menembus kerumunan orang-orang itu. Kibum bahkan merasa Jiyeon terpisah darinya.
“Kibum sshi!!!!” teriak Jiyeon, yang kini terdesak oleh orang-orang di sekitarnya. Kibum menatap Jiyeon, bingung. Entah kenapa, rasanya gadis itu terlihat semakin solid di matanya. Bahkan orang-orang itu bisa menabraknya. Padahal awalnya, ia tidak bisa menyentuh gadis itu.
Kibum menyusul Jiyeon dan menarik tangan gadis itu. Jantungnya kembali berdegup kencang saat tangannya menyentuh kulit dingin gadis itu.
“Kau bisa menyentuhku… orang-orang itu juga… Tapi tetap tidak ada yang bisa melihatku selain kau…” kata Jiyeon, terpana.
“Aku khawatir batas waktumu hampir terlewati… Ingat apa yang Minho katakan? Kalau batas waktumu terlewati, kau akan lepas seutuhnya dari ragamu dan menjadi benda utuh yang berbeda dengan ragamu…”
Jiyeon menggigit bibirnya. Ia merasa takut. Sangat takut. Ia memperhatikan tangannya yang maish digenggam oleh Kibum. Ia tidak mau terlepas dari tangan itu. Ia tidak mau sendirian. Ia tidak mau mati…
Jiyeon menyentuh tangan Kibum yang menggenggam tangannya dan meremasnya. Kibum tidak menoleh, bahkan tidak berhenti berjalan. Tapi entah kenapa, ia merasa sedih. Hatinya seperti teriris. Berlomba dengan waktu bukan hal yang mudah. Dan taruhannya adalah hidup gadis ini. Gadis yang sepertinya mulai ia cintai di pertemuan mereka yang singkat itu.
Kibum menyadarinya. Arti dari debaran jantungnya yang tidak terkendali, perasaan seakan-akan ada kupu-kupu beterbangan di perutnya, kesediaanya untuk mengembalikan gadis itu ke tubuhnya, dan keinginannya untuk tetap bersama gadis itu. Tapi bukan saat yang tepat untuk menggali perasaan itu lebih jauh. Bagi Kibum, prioritas pertamanya saat ini adalah mengembalikan Jiyeon ke tubuhnya.
Jiyeon sendiri tidak memikirkan apa-apa. Mengetahui waktunya semakin sempit, otaknya seperti menolak untuk berpikir. Ia hanya mengikuti langkah Kibum yang semakin lama semakin cepat.
Ya, mereka sedang berlomba dengan waktu…

Ketika akhirnya mereka tiba di rumah sakit, Kibum sudah hampir kehabisan nafasnya. Ternyata mereka membutuhkan waktu lama menuju rumah sakit akibat kerumunan orang-orang yang menyulitkan perjalanan mereka. Kibum masih menggenggam tangan Jiyeon yang selama perjalanan luar biasa diam. Kibum mengerti kenapa.
Mereka masuk ke rumah sakit dan langsung menghampiri resepsionis. Setelah bertanya di mana kamar Jiyeon, keduanya segera menuju ke lift dan memulai perjalanan mereka menuju lantai 3 rumah sakit itu.
“Masih lima belas menit lagi… Kita pasti bisa…” kata Kibum, menggenggam tangan Jiyeon lebih erat. Jiyeon tersenyum lemah.

Pintu lift membuka dan keduanya keluar. Kibum masih membaca papan penunjuk jalan yang tergantung di langit-langit saat beberapa suster berjalan terburu-buru melewati keduanya. Mereka membawa seorang pasien. Awalnya Jiyeon tidak menyadari siapa pasien itu. Tapi ketika Jinki lewat di depannya dengan wajah panik, ia tahu bahwa pasien itu adalah dirinya.

“K-Kibum sshi…” panggil Jiyeon. Kibum menoleh dan melihat Jiyeon menunjuk kerumunan suster yang masuk ke ruang emergency. Jinki berdiri di depannya. Ia sedang memaksa masuk karena ingin melihat adiknya. Ia tidak mau kehilangan adiknya.

“Oppa…” gumam Jiyeon.
“Ayo!” seru Kibum, menarik tangan Jiyeon. Ia berlai mendekati ruang emergency.
“Dokter! Izinkan kami masuk!!” seru Kibum. Jiyeon tidak bisa berada jauh darinya. Untuk itu, ia harus ikut masuk ke dalam demi mendekatkan gadis itu dengan tubuhnya. Jinki menatapnya dengan bingung.
“Kibum sshi?”
“Biarkan kami masuk!! Gadis itu harus diselamatkan!” seru Kibum, berusaha masuk. Tapi ia ditahan oleh dua orang perawat laki-laki. Perawat itu membawanya menjauhi ruang operasi.
“Maaf, tapi anda tidak boleh masuk… Pasien itu sedang memasuki masa kritisnya…”
“Tapi aku harus masuk!!!! Dia ada di sini!! Gadis itu ada di sini bersamaku!! Dia harus kembali ke tubuhnya!!!”
Perawat itu menatap Kibum seakan-akan dia orang gila. Jinki sendiri mengerenyit bingung. Apa maksud perkataan Kibum?
Jiyeon hanya bisa melihat. Saat perawat itu menjauhkan Kibum dari ruang operasi, ia ikut terbawa ke sana. Ia tidak bisa memasuki ruang operasi tanpa Kibum. Kemudian ia menoleh ke arah Jinki, yang masih berdiri di tempat. Wajahnya sembab dan kuyu. Matanya merah dan basah karena terus menerus menangis. Melihat keadaannya seperti itu, Jiyeon menjerit di dalam hati.

Ia mendekati Jinki dan menyelipkan jemarinya di tangan Jinki yang terkulai. Ia bisa menyentuh laki-laki itu. Dan Jinki, yang merasa ada yang menggenggam tangannya, melihat ke arah Jiyeon. Ia tidak bisa melihat gadis itu, tapi ia bisa merasakan sentuhannya.

“J-Jiyeon ah???” gumam Jinki, bergetar saat ia memanggil nama adiknya.
Kibum masih meronta, mencoba melepaskan diri dari pegangan kedua perawat itu. Ia melihat Jiyeon menggenggam tangan Jinki. Gadis itu menangis, Jinki menangis dan hatinya mencelos. Pemandangan itu merupakan pemandangan yang sangat menyedihkan.

“Tidak boleh begini… Apapun yang terjadi, aku harus membantu Jiyeon kembali ke tubuhnya… Tuhan… bantu dia… Jangan tinggalkan dia… Bantu dia kembali ke tubuhnya!!!!!” teriak Kibum dalam hati. Ia benar-benar berharap bantuan akan datang untuk menolong mereka.
“Kau bisa melihat rantai itu?” Tanya Minho, yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang kedua perawat itu. Ia menunjuk ke arah rantai yang terlihat samar. Rantai itu terikat pada pergelangan tangan Jiyeon, dan menyambung ke pergelangan tangan Kibum. Kibum mengangkat tangannya dan memperhatikan lilitan ketat rantai itu di tangannya.
“Rantai…?” gumam Kibum, tanpa berhenti meronta.
“Kau boleh memintaku memotong rantai itu. Dengan begitu ikatanmu dengan gadis itu akan lepas dan gadis itu bisa kembali ke tubuhnya. Tapi, dia tidak akan mengingat apapun yang terjadi selama ia berkelana dalam bentuk roh.” Kata Minho, mengeluarkan sebuah pisau mungil yang terbuat dari perak dari balik kemeja putihnya yang berkilau.
Kibum, yang tubuhnya masih dipegangi oleh kedua perawat itu, menatap Jinki yang memandang lesu ke pintu ruang emergency dengan tangan masih menggenggam tangan Jiyeon. Jiyeon melihat ke arahnya, kemudian menunjuk ke pergelangan tangannya sambil tersenyum.
“Sepertinya waktunya sudah habis, Kibum sshi…” kata gadis itu.

Kibum menggeleng. Ia yakin masih ada waktu meskipun sedikit. Dan di waktu yang sempit itu, ia akan melakukan apa saja untuk menyelamatkan Jiyeon. Ia menatap tajam ke arah Minho dan berteriak.
“Potong rantainya!!! Cepat potong rantainya!!!”
Jinki terkejut mendengar teriakan Kibum. Jiyeon, yang tidak mengerti apa yang terjadi, melangkah mendekati Kibum. Tepat pada saat itu, Minho mengayunkan pisau di tangannya dan memotong rantai itu hingga putus.

Sesaat waktu terasa seperti berhenti. Dan cahaya terang membuat mata Kibum tertutup. Saat ia membuka mata, ia sudah tidak melihat rantai itu lagi. Minho juga sudah tidak ada di depannya. Dan Jiyeon…
Gadis itu sudah menghilang.

Jinki, yang merasa sentuhan di tangannya tiba-tiba menghilang, mengangkat tangannya dan memperhatikan bekas sentuhan yang masih bisa ia rasakan itu. Untuk sesaat ia yakin Jiyeon menggenggam tangannya, memberinya kekuatan untuk melepas kepergian gadis itu.

Kibum berhenti meronta. Ia terduduk dan merasa gagal. Tapi saat itu dokter keluar dari ruang emergency dan member selamat pada Jinki.
“Adik anda berhasil melewati masa kritisnya. Dia baik-baik saja.”

Saat itu, yang ingin Kibum lakukan adalah berteriak sekuat tenaga. Ia lega, dan lelah sekali…
Kibum berdiri dan menguatkan dirinya untuk berjalan. Jinki sendiri masih sibuk berterima kasih pada si dokter. Saat Kibum berjalan menuju lift, ia berpapasan dengan seorang laki-laki berambut pirang. Laki-laki itu berlari dengan wajah pucat pasi.

“Hyung!!!” Kibum mendengar laki-laki itu berteriak.

“Jonghyun ah…” kali ini suara Jinki yang menjawab.

Kibum berbalik dan melihat Jinki memeluk laki-laki itu dengan wajah lega. Kibum tidak mengenal laki-laki itu. Tapi dia pernah mendengar nama itu keluar dari bibir Jiyeon.
Bagian tepi bibir Kibum melengkung membentuk senyuman.

“Dia tidak mencampakkanmu, Jiyeon ah… Dia sudah kembali padamu…” batin laki-laki itu seraya menatap keluar jendela rumah sakit. Kembang api berbagai macam warna berpendar di langit. Meriah, tapi Kibum melihatnya dengan tatapan mata kesepian.

Jiyeon duduk di tepian air mancur taman sambil mengayun-ayunkan kedua kakinya. Ia menunggu dan menunggu sampai orang itu datang dengan sabar. Sesekali ia melihat ke sekelilingnya dan berdiri untuk mencari orang itu. Dan ketika ia berdiri untuk kesekian kalinya, ia bertubrukan dengan seseorang. Orang itu menjatuhkan majalan yang tergulung di tangannya.

“Mianhaeyo!!” seru Jiyeon, buru-buru berlutut untuk mengembalikan majalah itu pada pemiliknya. Pemiliknya, laki-laki seusianya dengan mata yang bulat dan tajam, menatapnya dalam diam. Wajahnya terlihat kaget.

“Anu… apakah kau baik-baik saja?” Tanya Jiyeon karena laki-laki itu tidak juga memberikan respon. Laki-laki itu buru-buru tersenyum dan mengangguk.
Jiyeon ikut tersenyum, dan tersenyum lebih lebar saat melihat orang yang ia tunggu berjalan ke arahnya. Ia melambai pada Jiyeon.

“Jjong-oppa!!!” seru Jiyeon, berlari menyongsong Jonghyun yang langsung memberi tepukan lembut di kepalanya. Ia berjalan beriringan dengan Jonghyun, meninggalkan laki-laki yang tadi bertubrukan dengannya dalam diam. Laki-laki itu memperhatikan Jonghyun yang merangkul Jiyeon penuh kasih.

“Senang bisa melihatmu lagi, Jiyeon ah… Meski bukan aku yang merangkulmu di situ… Meski tidak ada lagi diriku di ingatanmu… setidaknya, jiwamu pernah berpetualang bersamaku…” kata Kibum, tersenyum melihat sepasang remaja itu.

0 Response to "Embrace My Soul"

/*! SCRIPT IKLAN */ /*! SCRIPT IKLAN */